Evaluasi PLTSa di Indonesia: Peluang Pengelolaan Sampah Desentralisasi untuk Sistem Lebih Berkelanjutan

04 Nov 2025Evaluasi PLTSa di Indonesia: Peluang Pengelolaan Sampah Desentralisasi untuk Sistem Lebih Berkelanjutan

Selama bertahun-tahun, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah PLTSa (waste-to-energy/WtE) dijanjikan sebagai solusi ideal yaitu satu teknologi untuk mengatasi dua masalah sekaligus sampah dan kebutuhan energi nasional. Namun kenyataannya, perjalanan proyek PLTSa (waste-to-energy/WtE) di Indonesia tidak mulus. Sejumlah proyek menghadapi hambatan teknis, finansial, dan operasional sehingga belum berjalan optimal.


Pemerintah terus mendorong percepatan. Hal ini ditegaskan kembali melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT) berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.


Perpres ini memberi kerangka hukum untuk mempercepat pembangunan fasilitas PLTSa berbasis teknologi modern dengan standar lingkungan yang lebih ketat. Meski demikian, implementasinya tetap menghadapi tantangan besar di lapangan. Hingga awal 2025, hanya sebagian kota yang berhasil mengoperasikan fasilitas PLTSa, sementara banyak daerah lain masih dalam tahap konstruksi atau penyiapan sistem pendukung.


Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?


Mengapa Banyak Proyek PLTSa Belum Berhasil?

Masalah PLTSa bukan pada visi atau teknologinya, tetapi pada pendekatan yang belum sepenuhnya selaras dengan kondisi operasional pengelolaan sampah di Indonesia. Berikut lima akar masalah utamanya:


1. Biaya Investasi dan Operasional yang Terlalu Tinggi

Pembangkit berbasis sampah membutuhkan teknologi tinggi dan proses rumit, mulai dari pengumpulan, pemilahan, hingga konversi energi. Biaya investasinya bisa mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah per lokasi, sementara biaya operasional terus membengkak. Tanpa subsidi atau tipping fee (bayaran per ton sampah), sebagian besar proyek tidak ekonomis untuk dijalankan.


2. Kualitas dan Pasokan Sampah Tidak Stabil

PLTSa hanya efisien jika mendapat pasokan sampah dalam volume besar dan kualitas tertentu, misalnya kadar air rendah dan nilai kalor tinggi. Padahal, sebagian besar sampah di Indonesia adalah organik basah dengan kadar air tinggi, sehingga tidak cocok untuk pembakaran energi. Selain itu, sistem pemilahan di sumber masih minim, membuat sampah yang masuk ke PLTSa sering tercampur material berbahaya.


3.Infrastruktur Logistik dan Tata Kelola Belum Siap

Banyak proyek yang belum berhasil karena rantai logistiknya tidak terkelola. Pengangkutan sampah ke fasilitas waste-to-energy butuh bahan bakar, armada, dan waktu yang justru menambah emisi dan biaya. Dalam kasus tertentu, proyek terhenti bukan karena teknologinya gagal, tapi karena manajemen pengumpulan dan transportasi tidak siap.


4. Skema Bisnis yang Belum Stabil

Sebagian proyek waste-to-energy mengandalkan skema tipping fee atau kontrak jual listrik ke PLN dengan harga khusus. Namun, ketidakpastian regulasi dan fluktuasi biaya membuat skema ini sulit diandalkan jangka panjang. Pemerintah bahkan tengah meninjau ulang beberapa peraturan karena dianggap membebani keuangan daerah.


5. Keterbatasan Lahan dan Resistensi Sosial

Membangun PLTSa membutuhkan lahan luas dan infrastruktur tambahan. Sering kali lokasi fasilitas mendapat penolakan warga sekitar karena khawatir terhadap bau, emisi, dan dampak lingkungan lainnya. Alih-alih menyelesaikan masalah, proyek PLTSa justru memunculkan konflik baru. 


Dimana Akar Masalahnya? Sentralisasi yang Terlalu Berat

Dari semua faktor di atas, Pituku menilai akar masalahnya terletak pada sistem yang terlalu sentralistik. Indonesia adalah negara dengan kondisi geografis, sosial, dan infrastruktur yang sangat beragam. Membangun satu model besar yang sama untuk semua kota dari Jakarta hingga Ternate jelas tidak realistis.


Sampah bersifat lokal dan dinamis. Setiap wilayah punya karakteristik sendiri: jenis sampah, volume harian, sumber timbulan, hingga pola konsumsi masyarakat. Maka, solusi pengelolaannya pun tidak bisa diseragamkan.


Inilah kenapa Pituku percaya, masa depan pengelolaan sampah Indonesia ada pada sistem yang desentralisasi dan sederhana.


Desentralisasi: Kunci Pengelolaan Sampah yang Realistis, Efektif, dan Adaptif

Pendekatan desentralisasi berarti pengolahan dilakukan sedekat mungkin dengan sumber sampah, bukan dikirim ke fasilitas besar yang jauh. Alih-alih satu PLTSa raksasa, bayangkan ratusan titik pengolahan kecil yang tersebar dan saling terkoneksi. Menurut Pituku, inilah keunggulan sistem desentralisasi:


1. Lebih Efisien dan Ekonomis

Pengolahan dilakukan langsung di sumber (misalnya di kawasan industri, perumahan, atau area komersial), sehingga biaya transportasi dan logistik menurun drastis. Selain itu, unit pengolahan modular bisa disesuaikan dengan volume dan jenis sampah di lokasi.


2. Mudah Dikelola dan Diawasi

Dengan teknologi yang sederhana dan bisa dioperasikan tenaga lokal, sistem ini lebih mudah dijaga keberlanjutannya. Ditambah integrasi pelaporan digital seperti SPEED 2024 dari KLHK, proses pengawasan bisa transparan dan terukur.


3. Meningkatkan Partisipasi Lokal

Ketika pengolahan dilakukan di dekat sumber, masyarakat atau industri setempat ikut merasa memiliki sistem tersebut. Ini memperkuat rasa tanggung jawab dan memperkecil potensi penolakan sosial.


4. Lebih Adaptif terhadap Perubahan

Setiap wilayah bisa menyesuaikan kapasitas dan teknologi sesuai kebutuhan lokal tanpa menunggu perubahan kebijakan pusat. Inilah prinsip “small is flexible” yang menjadi inti dari desentralisasi.


Sebagai contoh nyata, PT Agincourt Resources berhasil mengolah 155,25 ton oli pelumas bekas menggunakan teknologi hypobaric fraction separator, dan melaporkan pemanfaatan hingga 80% sebagai bahan bakar substitusi, bukti bahwa pengelolaan limbah industri berskala besar dapat dijalankan secara internal terukur. (Sumber: Siaran pers PT Agincourt Resources (3 September 2025)).


Peran Pituku: Bangun Sistem Pengelolaan Limbah yang Terukur & Terhubung

Sebagai mitra pengelolaan limbah B3 & Non-B3 yang terakreditasi KLHK, Pituku tidak hanya berfokus pada pengangkutan atau pembuangan limbah. Kami membantu perusahaan membangun sistem pengelolaan yang terintegrasi mulai dari pemilahan, penyimpanan, transportasi, hingga pelaporan digital. Pendekatan kami sederhana:


“Sampah tidak harus jadi masalah besar, jika dikelola secara tepat, proporsional, dan dekat dengan sumbernya.”


Dengan infrastruktur yang tersebar di berbagai wilayah dan teknologi pelaporan yang efisien, Pituku siap mendukung perusahaan mewujudkan sistem pengelolaan limbah desentralisasi yang berkelanjutan. 


Mulai Transisi ke Sistem Limbah yang Lebih Efektif dan Berkelanjutan

PLTSa mengajarkan satu hal penting, bahwa solusi besar tidak selalu berarti efektif. Sampah adalah persoalan yang harus ditangani dekat dengan sumbernya, bukan diserahkan pada sistem raksasa yang jauh dari realita lapangan.


Desentralisasi bukan mundur dari kemajuan, tapi menyesuaikan langkah dengan konteks lokal. Dengan pendekatan sederhana, adaptif, dan berkelanjutan, Indonesia bisa mengelola sampah lebih cerdas bukan sekadar lebih canggih.


Ingin membangun sistem pengelolaan limbah yang efisien dan sesuai regulasi? Pituku hadir untuk membantu agar pengelolaan limbah Anda lebih sederhana, aman, dan transparan. Hubungi tim kami untuk mendapatkan pendampingan pengelolaan limbah terpadu yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan industri Anda.

Bagikan ke

Tentang Kami

Pituku adalah perusahaan pengelolaan limbah berbasis teknologi terkemuka di Indonesia, yang memiliki izin menangani lebih dari 200 kategori limbah berbahaya dan tidak berbahaya.

Artikel Terbaru